Ia menekankan bahwa keuntungan jangka pendek dari tambang telah mengorbankan keselamatan dan kesejahteraan masyarakat secara brutal. Lebih lanjut, Mansur mengungkap praktik eksploitatif PT. IWIP terhadap karyawannya.
“Pemotongan gaji karyawan merupakan aturan perusahaan yang dinilai seperti mengancam para buruh tambang, karena memaksa para karyawan untuk masuk kerja meski dalam kondisi hujan dan banjir yang menutupi akses jalan,” cakapnya.
Aktivis GMNI Maluku Utara ini juga menambahkan, dimensi kemanusiaan pada kritik terhadap perusahaan menghadapi kenyataan bahwa banjir dan kerusakan lingkungan telah menjadi ‘langganan’ di Halmahera Tengah.
“Secara etika sudah sepantasnya PT. IWIP segera angkat kaki dari Maluku Utara atas kerusakan yang ditimbulkan,” tegasnya.
Ia juga menyuarakan tuntutan yang semakin menguat di kalangan masyarakat.
Hal ini menjadi alarm keras akan pentingnya keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan.
Mansur dan para aktivis lainnya menuntut evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pertambangan di Maluku Utara dan implementasi yang lebih ketat terhadap regulasi lingkungan yang ada.
Hal itu semata-mata demi kepentingan ribuan warga Halmahera Tengah terancam kehilangan masa depan mereka. Rumah dan lahan pertanian yang rusak akibat banjir berulang menjadi bukti nyata harga mahal yang harus dibayar ketika keserakahan korporasi diutamakan di atas kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
“Kasus ini menjadi sorotan nasional, menuntut perhatian serius dari pemerintah pusat dan mempertanyakan komitmen Indonesia terhadap pembangunan berkelanjutan di tengah gempuran industri ekstraktif yang agresif,” pungkasnya.
***
1 Komentar
Soal aktifitas tambah yg berdampak terhadap kerusakan lingkungan bukan sesuatu yg tidak mungkin tapi itu sesuatu yg pasti, dn itu diketahui oleh semua orang, namun harus diakui bahwa persoalan permabnagn juga menjadi ruang keberlanjutan hidup masyarakat saat ini, bukan hanya Maluku Utara tapi banyak pekerja dari daerah lain mencari nafka di area pertambangan halteng. Persoalan yg harus diseriusi oleh semua elemen adalah fungsi kontrol pemerintah dn DPRD Maluku Utara agar lingkungan area pertambangan tetap aman dari berbagai acanaman ketika musim hujan, lemahnya fungsi kontrol sehingga aktifitas pengelolaan dilakukan secara berlebihan tanpa memperdulikan keberlanjutan, kalau suda seperti itu kondisinya,,,,,, yaaa sudah sulit berbicara persoalan ekologi, persoalan lingkungan, persoalan berkelanjutan. Untuk mengembalikan fungsi ekologi tidak semuda merangkai kata-kata di atas kertas atau berpendapat dihadapan forum.