Oleh : Igrissa Majid
Sulit untuk meyakini jemari-jemari sebagian besar populasi Maluku Utara (Malut) menari secantik gambar di kertas suara, mencoblos dengan hati nurani yang jujur dan menjunjung kebenaran sejati. Justru ada dugaan politik uang, ancaman akan jabatan, pengerahan ASN, dan kemanusiaan palsu. Hal-hal semacam ini nyata terjadi, dipertontonkan dengan narasi politik yang konon kontemporer. Bahkan disulap sebobot mungkin: sungguh kecurangan yang sempurna.
Apakah kecurangan sempurna? Jika pada akhirnya capaian perolehan suara dianggap tidak demokratis dan terindikasi pelanggaran secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), lantas apakah Mahkamah Konstitusi (MK) dapat membatalkan hasil Pilkada? Jika Pemohon mampu memotretnya dengan baik untuk menarik benang merahnya, maka di sini kita dapat menilai bahwa ternyata benar adanya indikasi atau dugaan pelanggaran yang dipraktikkan secara TSM.
Kecurangan Sempurna
Butuh kejujuran kolektif untuk mengakui, bahwa dokumentasi Pilkada di Maluku Utara setiap periode di dalamnya tersusun sejarah kecurangan. Tidak ada yang bersih, jujur, apalagi adil. Upaya memanipulasi kebijakan yang menguntungkan sepihak sungguh nyata, tidak hanya di tingkat provinsi, melainkan juga berlangsung di tingkat kabupaten/kota. Problem Malut hari ini adalah soal itu, tentang ketidakjujuran, keculasan, dan cara-cara kotor yang dipaksakan untuk meraih jabatan mentereng.
Akan tetapi, dalam pemberitaan nasional diakui sebagai Pilkada paling demokratis. Setidaknya itu yang sedang kita saksikan di Malut saat ini. Banyak media menampilkan ada pasangan calon (Paslon) tanpa money politic, dari kalangan minoritas, dan dadakan muncul di panggung politik ternyata mampu membongkar tradisi lama di mana fanatisme, taklid buta, nilai primordialisme, fan behavior, atau bisa saja kata lain dari semua itu sebagian publik menilai lebih baik melihat sisi selebritas seseorang daripada perilaku politisi.
Tapi mari kita pergi pada paradoksal yang menggerus nilai integritas pilkada Malut karena diduga terjadi kecurangan secara TSM. Rujukan atas indikasi ini adalah praktik yang meluas, terorganisir dan sempurna guna mempengaruhi proses hingga hasil Pilkada secara tidak adil. Tentunya, tiga unsur ini dapat kita pertanyakan untuk mengukur secara objektif baik dari sisi kekurangan dan kelebihannya masing-masing.
Pertama, soal dugaan kecurangan terstruktur yang barangkali oleh banyak kalangan sudah memahaminya. Akan tetapi harus dilihat bahwa ada standar yang harus dikaji untuk mengukur elemen atau unsur-unsur kategori “terstruktur” terpenuhi atau tidak, sehingga pengajuan sengketa ke Mahkamah Konstitusi (MK) tidak terganjal akibat ketidakpahaman konseptual berikut ketentuan teknisnya.
Kedua, meskipun margin kemenangan cukup tinggi, tetapi sepanjang soal kecurangan “sistematis” tidak dapat hanya sebatas pendalilan, melainkan unsur sistematis harus merujuk pada bukti kecurangan mulai sebelum, selama, dan sesudah Pilkada terdapat kecurangan yang dipersiapkan serba beres. Maka, mudah bagi pihak yang dirugikan menempuh jalur hukum.
Selanjutnya_
Tinggalkan Balasan