Oleh: Zakia Salsabila
Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk menaikkan pajak dari 10% menjadi 11% pada April 2022 dan pada 1 Januari 2025 akan mengalami kenaikan lagi menjadi 12%. Hal ini menimbulkan gejolak amarah masyarakat. Sejumlah elemen masyarakat turun ke jalan menolak kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12%.
Penolakan PPN antara lain dilakukan oleh Mahasiswa. Dikutip dari Kompas.com, aliansi mahasiswa yang tergabung adalah BEM Seluruh Indonesia (SI) menggelar aksi unjuk rasa menolak kebijakan PPN 12% di samping Patung Arjuna Wijaya, Gambir, Jakarta Pusat. Penolakan masyarakat terhadap kenaikan PPN jadi 12% semakin menguat.
Seperti dikutip juga dari CNN Indonesia, sebanyak 197.753 orang telah meneken petisi menolak kenaikan PPN menjadi 12%. Jumlah tersebut merupakan data yang masuk hingga Sabtu 28/12/2024, pukul 13.00 WIB. Petisi tersebut telah diterima sekretariat negara meski terkesan administratif. Kemudian dikutip juga dari cakaplah.com, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu memastikan, dampak kebijakan ini terhadap inflasi dan ekonomi akan sangat minimal.
Sebab Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, terdapat kebijakan PPN 12% yang akan dikenakan khusus untuk barang mewah yang sebelumnya dibebaskan PPN. Penyesuaian tarif PPN akan dikenakan bagi barang dan jasa yang dikategorikan mewah dan dikonsumsi masyarakat mampu. Barang-barang tersebut diantaranya, kelompok makanan berharga premium, layanan rumah sakit VIP, dan pendidikan yang berstandar internasional yang berbayar mahal.
Di tengah penolakan masyarakat terhadap kenaikan PPN 12%, pemerintah tetap bersikeras memberlakukan beleid baru ini. Meskipun pemerintah memberikan batasan barang-barang yang terkena kenaikan PPN, kebijakan tersebut tetap akan memberatkan rakyat.
Sekalipun terdapat program Bansos, karena sejatinya bantuan tersebut memiliki batasan waktu tertentu dan dampak buruk kenaikan PPN tak terelakkan. Inilah contoh kebijakan penguasa yang populis otoriter. Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan negara dalam sistem Kapitalisme.
Karena itu pajak adalah satu keniscayaan, demikian pula kenaikan besaran pajak dan beragam jenis pungutan pajak. Ketika pajak menjadi sumber pendapatan negara, maka hakekatnya rakyat membiayai sendiri kebutuhannya akan berbagai layanan yang dibutuhkan. Artinya negara tidak berperan sebagai pengurus rakyat. Dan dalam sistem kapitalisme negara hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator, melayani kepentingan para pemilik modal.
Rakyat biasa akan terabaikan. Rakyat menjadi sasaran berbagai pungutan negara yang bersifat ‘wajib’ sebagai konsekuensi posisinya sebagai warga negara. Pungutan pajak jelas menyengsarakan, karena pungutan itu tidak memandang kondisi rakyat. Mirisnya banyak kebijakan pajak yang memberikan keringanan pada para pengusaha, dengan alasan untuk meningkatkan investasi pengusaha bermodal besar. Asumsinya investasi akan membuka lapangan kerja dan bermanfaat untuk rakyat. Padahal faktanya tidak seperti itu.
Baca Halaman Berikut…
Tinggalkan Balasan