Oleh : Agus Hi Jamal

Membaca Zaman Lewat Layar

Hari ini, di sudut-sudut sekolah di Maluku Utara, dari Ternate hingga Weda, dari Patani hingga Loloda, anak-anak sibuk menunduk. Bukan sedang membaca buku, tapi menatap layar ponsel. Jempol mereka cekatan, bukan untuk membolak-balik halaman, melainkan untuk menggulirkan video-video pendek yang berisik dan adiktif. TikTok menjadi ruang belajar paling populer, meski bukan untuk belajar seperti yang kita pahami.

Fenomena ini bukan semata tren teknologi. Ini adalah gejala sosial yang lebih dalam: krisis literasi yang menjelma dalam wajah baru, di mana popularitas menggantikan pengetahuan, dan visual menggantikan refleksi. Ketika TikTok viral dan buku tertinggal, kita perlu bertanya: ke mana arah pendidikan kita, dan apa yang sedang hilang dalam prosesnya?

Dari Buku ke Gawai: Pergeseran yang Tak Terkawal

Masuknya teknologi ke dalam dunia pendidikan adalah keniscayaan. Namun, di Maluku Utara, keterpaparan terhadap gawai dan media sosial tidak disertai dengan kesiapan literasi digital yang memadai. Gawai bukan hanya alat bantu, tetapi telah menjadi pusat perhatian. Dalam ruang kelas, ponsel lebih menarik daripada papan tulis. Di rumah, anak lebih memilih video tantangan daripada membaca kisah pahlawan.

Literasi yang dulunya berakar pada teks dan pemahaman, kini digantikan oleh sekadar kemampuan menonton, meniru, dan menyebar. Anak-anak kita mungkin lebih cepat tahu tren TikTok terbaru daripada bisa menjelaskan isi cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis. Ini bukan ironi biasa, ini krisis yang sedang menetas.

Maluku Utara dan Ketimpangan Literasi Gawai

Kita tidak bisa membicarakan krisis literasi ini tanpa melihat kondisi wilayah. Maluku Utara memiliki tantangan geografis dan infrastruktur yang tidak merata. Di banyak sekolah, buku masih menjadi barang langka. Perpustakaan sekolah kadang hanyalah lemari kosong dengan koleksi usang. Namun, sinyal internet sudah merata di sebagian besar desa. Akibatnya, anak lebih cepat berkenalan dengan YouTube dan TikTok daripada dengan buku bacaan.

Ironi ini makin kentara ketika guru-guru di desa merasa kalah cepat dibanding notifikasi aplikasi. Proses belajar jadi tersendat karena konsentrasi anak terbagi antara pelajaran dan layar. Literasi sebagai proses membangun makna pun tergeser oleh budaya meniru yang dangkal.

Guru di Tengah Kepungan Layar

Dalam situasi ini, guru menjadi pihak yang paling terpukul. Mereka dituntut mengajar dalam situasi yang berubah drastis. Banyak dari mereka yang belum dibekali pengetahuan literasi digital atau pedagogi berbasis teknologi. Mereka berusaha keras membangun ruang baca, mendisiplinkan siswa agar tidak bermain ponsel, dan membangkitkan kembali minat pada teks. Tapi upaya itu sering kali terasa sepi dan sunyi, kalah gaung dari “For You Page” TikTok.

Tak sedikit guru yang akhirnya memilih menyerah, atau setidaknya membiarkan siswa tetap membawa gawai selama tidak mengganggu. Ini adalah bentuk kompromi yang memprihatinkan karena sistem tidak cukup kuat menopang cita-cita pendidikan yang kritis.

Orang Tua yang Menyerahkan Pendidikan ke Ponsel

Di rumah, situasinya tidak lebih baik. Banyak orang tua di Maluku Utara bekerja seharian di kebun, di laut, atau di pasar. Gawai menjadi semacam “Pengasuh Digital” yang praktis. Anak-anak dibiarkan menatap layar tanpa kontrol. Mereka bisa membuka apa saja, mengakses konten apapun, dan menyerap nilai-nilai tanpa pengetahuan orang tuanya.

Ini menjadi bom waktu. Anak-anak kita tumbuh dengan bahasa dan referensi luar yang tidak selalu sesuai konteks. Mereka mengenal bahasa kasar, budaya instant, dan gaya hidup hedonistik sebelum mengenal puisi-puisi W.S. Rendra atau falsafah lokal Moloku Kie Raha. Bukankah ini bentuk kolonialisasi gaya baru yang halus dan tanpa suara?

Membaca Bukan Lagi Kebutuhan

Dulu, membaca adalah jalan menuju cita-cita. Tapi kini, membaca dianggap membosankan, melelahkan, dan tidak “keren”. Di mata pelajar, membaca tak sebanding seru dengan menonton konten berdurasi 15 detik yang penuh efek suara dan tarian. Buku kalah visual, kalah tempo, kalahperhatian.

Padahal, membaca tidak hanya soal teks. Ia melatih empati, melatih berpikir kritis, dan memperluas imajinasi. Ketika membaca tersingkir, maka kemampuan memahami kompleksitas hidup juga ikut menghilang. Kita sedang memproduksi generasi yang tahu banyak hal secara cepat, tapi tidak memahami apapun secara dalam.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Tapi kita bisa memetakan arah masa depan. TikTok dan media sosial bukan untuk dimusuhi, tapi perlu diintervensi dengan pendekatan edukatif. Ada banyak cara untuk mengubah krisis ini menjadi peluang:

  • Mendorong pembuatan konten edukatif lokal: Guru dan komunitas bisa membuat video pembelajaran berbasis konteks Maluku Utara, yang dekat dengan kehidupan pelajar.
  • Menghidupkan kembali perpustakaan desa dan sekolah: Dengan koleksi buku menarik, kegiatan membaca bersama, dan klub literasi.
  • Membuat kurikulum literasi digital: Mengajarkan siswa untuk menyaring informasi, berpikir kritis terhadap konten, dan memproduksi karya berbasis nilai.
  • Melibatkan komunitas dan tokoh adat: Untuk menanamkan kebijaksanaan lokal sebagai bagian dari proses belajar yang relevan dan membumi.

Komunitas Literasi: Cahaya Kecil dari Timur

Beruntung, masih ada cahaya. Komunitas-komunitas seperti Pustaka Laut Bercerita, Forum Baca Halmahera, hingga gerakan literasi lokal di Jailolo dan Taliabu sedang berjuang menjaga nyala minat baca. Mereka mendatangi anak-anak di kampung, membacakan buku, membuka ruan gdiskusi, dan memberi alternatif selain layar.

Langkah-langkah ini kecil, tapi sangat berarti. Mereka mengingatkan kita bahwa perubahan tak harus dimulai dari sistem besar, tapi dari komunitas kecil yang setia pada harapan.

Menuju Ekosistem Literasi yang Tangguh

Tantangan besar ini hanya bisa dihadapi jika semua elemen bergerak bersama. Pemerintah daerah harus menyusun kebijakan literasi yang adaptif terhadap zaman. Sekolah harus terbuka pada metode kreatif. Guru perlu didukung dengan pelatihan dan fasilitas. Orang tua harus menjadi mitra pendidikan, bukan hanya penonton. Dan anak-anak harus diberi ruang untuk mengenal dunia dengan cara yang sehat dan mendalam.

Literasi bukan hanya tentang membaca buku. Tapi juga tentang membangun kesadaran, mengasah

kemampuan berpikir, dan merawat identitas. Tanpa literasi, kita kehilangan arah. Dengan literasi, kita bisa melawan gelombang informasi yang membanjiri dan menenggelamkan.

Penutup: Menanam Ulang Akar Literasi

TikTok akan terus viral. Teknologi akan terus berkembang. Tapi masa depan tidak boleh kita serahkan begitu saja pada algoritma. Kita harus menanam ulang akar-akar literasi di tanah Maluku Utara dengan kasih, dengan kerja keras, dan dengan kreativitas.

Sebab, jika hari ini anak-anak lebih hafal filter TikTok daripada isi buku, maka esok hari mereka bisa lupa cara memahami hidup yang kompleks. Dan itu, bukan masa depan yang pantas untuk negeri yang kaya akan hikmah, sejarah, dan harapan seperti Maluku Utara.