Refleksi Hari Pendidkan 2 Mei 2025

Oleh: Agus Hi Jamal, (AKademisi UMMU Ternate) 

 

Pagi-pagi benar, anak-anak di pelosok Maluku Utara sudah menyusuri jalan berlumpur, menyeberang kali, mendaki bukit, atau berjalan kaki puluhan kilometer menuju sekolah. Dipundak mereka menggantung tas lusuh berisi buku yang kadang tak utuh, pena yang hampir habis tintanya, dan harapan yang entah ke mana arahnya. Peluh mereka jatuh di tanah, membasahi seragam yang dipakai bertahun-tahun tanpa ganti. Namun, sesampainya di sekolah, yang tersisa hanyalah bangku-bangku kosong, guru yang jarang hadir, dan kurikulum yang terasa asing dari hidup sehari-hari.

Inilah realitas pendidikan di banyak wilayah Maluku Utara hari ini. Pendidikan berjalan, tapi tanpa jiwa. Ia menjadi proyek pembangunan yang seolah selesai pada angka-angka: jumlah sekolah, jumlah siswa, jumlah ujian. Tapi jika kita menyelami lebih dalam, pendidikan di sini adalah proyek yang tak kunjung rampung karena kehilangan arah, kehilangan rasa, kehilangan makna.

Teori pendidikan kritis mengajarkan bahwa pendidikan bukan sekadar transmisi pengetahuan, tapi proses membebaskan. Paulo Freire menyebutnya sebagai “praktik pembebasan”, di mana murid bukan objek pasif, melainkan subjek aktif yang belajar memahami dunia dan mengubahnya. Tapi di Maluku Utara, pendidikan justru kerap menjadi alat penjinakan.

Anak-anak diajari menghafal, bukan berpikir. Mereka dicekoki wacana nasional yang seragam, tanpa diajak menggali pengetahuan lokal, nilai budaya, atau realitas desa mereka sendiri.

Buku-buku pelajaran masih bicara soal salju dan musim gugur yang tak pernah dilihat anak-anak Tobelo atau Gane. Pelajaran sejarah terlalu padat dengan kisah kerajaan di Jawa, tapi sunyi terhadap kisah perjuangan rakyat di Halmahera. Bahkan guru-guru pun tak punya ruang untuk mencipta. Mereka dibebani laporan administrasi, diatur oleh sistem penilaian digital yang kadang tak nyambung dengan kenyataan di kelas.

Ada pula ironi yang makin terasa: di tengah semangat program makan gratis, sekolah gratis, dan pembangunan infrastruktur, justru yang terlupakan adalah jiwa pendidikan itu sendiri. Makan gratis tanpa arah kurikulum yang relevan hanyalah pengisi perut tanpa pemantik pikir. Pembangunan gedung tanpa kehadiran guru hanyalah rumah sunyi yang tak mengajarkan apa-apa.

Negara hadir, tapi seperti hantu yang tidak menyentuh tanah. Semua berputar di permukaan: proyek fisik, slogan birokrasi, foto-foto seremoni. Padahal, pendidikan adalah soal rasa dan arah. Ia harus berakar pada kenyataan hidup.

Anak-anak di Maluku Utara hidup di tengah konflik tanah, krisis lingkungan akibat tambang, kemiskinan struktural, dan pergeseran budaya. Namun sekolah tak pernah membicarakan itu. Anak-anak dididik untuk menjauh dari tanah, bukan merawatnya; diajari mengejar kota, bukan membangun desa. Pendidikan menjadi jalan keluar dari kampung, bukan jalan kembali dengan pengetahuan.

Kita pun patut bertanya: pendidikan untuk siapa? Untuk anak-anak yang akan menjadi pekerja murah di pabrik? Untuk pemuda yang dimobilisasi sebagai tenaga kasar ke luar daerah? Ataukah pendidikan hanya menjadi alat statistik pembangunan, sekadar mengurangi angka buta huruf tanpa peduli pada kualitas berpikir dan berdaya?

Fikram Sabar
Editor