Oleh: Riski Ikra (Pegiat-Literasi Sahabat_Nulis) 

Tiga puluh lima tahun bukanlah usia yang muda bagi sebuah daerah yang pernah dijanjikan sebagai pusat kemakmuran baru di Maluku Utara. Kabupaten Halmahera Tengah lahir dari asa dan ikhtiar panjang masyarakatnya yang sejak awal berdiri telah menaruh harapan besar agar tanah ini menjadi rumah bagi kesejahteraan dan kedamaian.

Namun pada usia yang ke-35 tahun, Halmahera Tengah justru menghadirkan cermin yang retak sebuah potret paradoks antara pembangunan yang dijanjikan dan kenyataan sosial-ekologis yang terus menurun di berbagai penjuru wilayahnya.

Pada momentum peringatan Hari Ulang Tahun ke-35 yang digelar di Aula Hi. Salahuddin Bin Talabuddin, Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah secara resmi meluncurkan logo dan tema besar, “Bersatu dalam Fagogoru, Berkarya untuk Halmahera Tengah.” Tema ini sekilas tampak sederhana, namun sarat makna filosofis yang dalam. “Fagogoru” bukan sekadar simbol adat, melainkan representasi kesatuan hidup antara manusia, tanah, dan nilai-nilai yang menuntun masyarakat menuju harmoni. akan tetapi, ketika kita menengok kenyataan hari ini, semangat “bersatu dalam Fagogoru” itu seolah terbelah oleh kepentingan ekonomi besar, oleh industrialisasi yang tidak lagi berpihak kepada manusia dan alam.

Halmahera Tengah pada satu dekade terakhir telah menjadi episentrum dari industrialisasi ekstraktif. di wilayah ini berdiri megah kawasan industri PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), yang oleh pemerintah pusat digadang-gadang sebagai motor penggerak ekonomi nasional di sektor nikel dan bahan baku mobil listrik.

Visi besar Presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka yang menekankan transformasi menuju era industri ramah lingkungan dan mobil listrik memang tampak progresif di atas kertas. namun, di lapangan, wajah “Ekonomi Hijau” itu justru sering kali berlumur debu tambang dan air sungai yang kecoklatan.

Eksploitasi besar-besaran terhadap tanah Halmahera Tengah membawa luka ekologis yang pada. pada Pulau Gebe, misalnya, masyarakat adat terus berhadapan dengan kenyataan pahit: tanah ulayat mereka tergerus oleh aktivitas tambang, hutan adat yang dahulu menjadi sumber pangan dan kehidupan kini berubah menjadi bukit gundul. di Weda, suara burung endemik dan desiran sungai yang dahulu menjadi simbol keseimbangan kini tergantikan oleh deru mesin industri.

Tak sedikit masyarakat yang kehilangan ruang hidupnya bukan hanya secara fisik, namun juga secara kultural. Mereka yang dulu hidup dari sagu, ikan, dan kebun kini tergantung pada perusahaan; sebuah ketergantungan yang menandakan pergeseran drastis dari ekonomi lokal menuju ekonomi korporasi.

Renungan ekologis menjadi penting di usia ke-35 ini karena Halmahera Tengah sedang berada pada titik krusial sejarahnya. Kita dihadapkan pada pertanyaan besar: Apakah pembangunan yang sedang dijalankan benar-benar untuk rakyat? atau hanya melayani ambisi nasional yang berorientasi pada ekspor nikel dan investasi asing? sebab dalam narasi besar “hilirisasi industri” yang digaungkan pemerintah, sering kali suara masyarakat lokal terpinggirkan.

Banyak laporan lapangan menunjukkan bahwa janji-janji kesejahteraan belum sebanding dengan dampak yang diterima rakyat. Air bersih sulit diakses, polusi udara meningkat, dan konflik agraria muncul di berbagai tempat.