Oleh; Risman Darmin, S.H (Pemerhati Hukum)

Penulis mengawali tulisan ini degan history kritik Marthin Luther pada Tahun 1517 terhadap kekuasaan Gereja di Eropa yang dikemukakan oleh Arief Budiman dalam Bukunya (Teori Negara, Negara, Kekuasaan dan Ideologi). Kritik yang lahir akibat dari keraguan terhadap kekuasaan Gereja yang dianggap menggunakan kekuasaannya untuk memperoleh kekayaan duniawi.

Kritik Luther tersebut kemudian dikembangkan oleh pemiki-pemikir setelahnya yang dikenal dengan kaum Monarcomacha (kaum pembantah Raja) kelompok yang berkembang di akhir adab ke-16 ini seperti halnya Luther, mereka menganggap sekalipun Raja mendapatkan Keabsahan kekuasaan dari Gereja tetapi tidak dibenarkan untuk sewenang-wenang terhadap rakyat.

Pertanyaan seperti; bila Raja memperoleh kekuasaanya dari Gereja, dan Raja melanggar Kaidah-kaidah Agama, haruskah Raja demikian di patuhi.? Kaum Monarcomacha atau kaum pembantah raja tidak lagi membatasi diri pada kaidah-kaidah Agama, sekalipun raja dipiih oleh Gereja yang merupakan jelmaan Tuhan tetapi diangkat atas persetujuan rakyat. Pemikiran yang lahir atas dasar bahwa tidak ada manusia yang lahir secara langsung menjadi raja.

Blakangan kritik yang demikian lahir dengan konsep yang sedikit berbeda. Misalnya aksioma politik dari Sejarahwan Inggris Lord Acton, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Bahwa Kekuasaan itu cenderug Korup, Kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut pula”. Aksioma Lord Acton tersebut menitikberatkan pada kesewenang-wenang yang bisa saja dilakukan oleh penguasa akibat dari kekuaaan yang absolut. Pemikiran-pemikiran ini sejalan dengan semangat pembatasan kekuasaan sebagaimana paham Constitusionalisme.

Gagasan konstitusionalisme secaraa history telah lahir pada Tahun 622 Masehi, kesepakatan tertulis antara Nabi Muhammad SAW bersama Kaum muhajirin dan Kaum Anshar di Yastrib yang kurag lebih berisi 47 Pasal. Di Yunani, Filsuf seperti Plato dan Aristoteles mulai membahas konsep hukum dasar (politeia) untuk mengatur negara. Pada Abad Pertengahan, Dokumen seperti Magna Charta (1215) di Inggris menjadi tonggak awal pembatasan kekuasaan raja dan berkembang Abad ke-18 dan 19 dimana Gagasan ini menguat dengan munculnya teori kontrak sosial dari pemikir seperti John Locke dan J.Rousseau, serta Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi Prancis (1789) yang menghasilkan konstitusi tertulis yang membatasi kekuasaan monarki.

Di Indonesia, paham konstitusionalisme tercermin dengan dibentuknya Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang kurang lebih isi pokoknya tentang pembatasan kekuasaan presiden dengan membatasi masa jabatannya, implementasi tentang pemisahan kekuasaan, mekanisme check and balances dan Melindungi hak-hak asasi manusia warga negara yang diatur secara eksplisit. Selebihnya dapat dipahami penegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan.

Pembatasan kekuasaan atas kesewenang-wenangan adalah wujud komitmen implementasi Negara Hukum yang tertuang secara ekspisit dalam UUD 1945, hal itu membenarkan koreksi terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang keliru. Misalnya pada tulisan penulis sebelumnya yang berjudul (Diskresi, Kewenangan Bebas yang dibatasi), tulisan yang pada dasarnya merupakan realisasi keresahan akibat dari kebijakan Of Side pejabat TUN atau Bupati Halmahera Selatan.

Penulis menegaskan bahwa setiap tindak tanduk pemerintah harus menggunakan hukum sebagai Rull Of The Game atau menjadikan Hukum sebagai tolak ukur untuk menentukan arah kebijakan pemerintah tidak dengan mempertimbangkan hal lain diluar ketentuan perundang-undangan atau perintah Putusan TUN. Kebijakan Keliru yang dikemas dalam bentuk Diskresi yang oleh penulis menyebutnya mengesampinkgan Putusan TUN dengan melantik beberapa Kepala Desa yang telah dibatalkan oleh Putusan TUN sebelumnya.

Penulis menawarkan jalan tengah solusi dengan membatalkan Keputusan berdasarkan Asas Contrarius Actus prinsip yang pada dasarnya merupakan pengecualian dari asas hukum umum yang menyatakan bahwa suatu keputusan hukum hanya dapat dibatalkan oleh putusan pengadilan. Sekalipun sedari awal penulis meyakini tidaklah mungkin tawaran tersebut digunakan.

Pada akhirnya, Pengangkatan Kepala Desa oleh Bupati Halmahera Selatan yang sebelumnya dibatalkan oleh Putusan TUN adalah praktik kesewenang-wenangan yang oleh beberapa pihak akhir-akhir ini menganggap Keputusan tersebut benar adanya dan dugaan kesewenang-wenangan dianggap tuduhan tanpa dasar yuridis. Lantas apa yang dipahami tentang Putusan TUN yang memiliki kekuatan hukum tetap Inkracht Van Gewijsde dan bersifat mengikat para pihak Erga Omnes.?

Menganggap kegiatan koreksi lewat opini menimbulkan kegaduhan atau bahkan berusaha membatasi koreksi public terhadap kebijakan keliru dengan jalur Legal Formal yang tidak semua dapat menjangkau. Kasarnya setelah berhasil menebas dengan pedang, raja kemudian memerintahkan yang ditebas bangkit untuk meminta resep dokter untuk berobat. Pada posisi ini, penulis berpendapat bahwa Keputusan TUN yang sedari awal keliru dan terkesan sarat kepentingan justru berusaha dilegitmasi.

Singkatnya praktik kehidupan bernegara yang secara history diuraikan sebelumnya, adalah ikhtiar konstitusional yang mestinya menjadi tolak ukur bagi penguasa atau Pejabat yang oleh Brutus dari kaum Monarcomacha menyebutnya RAJA. Implementasi kebijakan tidak selalu soal prosedur formal.

Tetapi selebihnya tentang Moral dan Etika. Paraktik pembatalan spontan Keputusan TUN berdasarkan Asas Contrarius Actus adalah jelmaan dari kesadaran hukum dan etika pejabat TUN untuk mengoreksi Keputusan yang keliru. Selebihnya, Berbeda pendapat tentang suatu peristiwa hukum biasa halnya, akan tetapi tidak dengan cara mengabaikan fakta dan bahkan sebaliknya mempercantik fakta-fakta buruk yang dibangun dari argumetasi keliru Logic Fallacy.

***

Fikram S. Minangkabau
Editor